Minggu, 30 September 2012

Mamaah.. Aku rindu!!

Mamaah, Aku Rindu!
            Akhir-akhir ini aku tidak lagi melihat senyum dari wajahnya. Bahkan untuk sekedar mendengar namaku dipanggil itu terasa sulit. Rumahku berubah layaknya rumah sakit. Banyak sanak saudara yang sering datang berbagi cerita sekaligus menjenguk seseorang yang sakit. Dialah Mamaku.
            Semuanya berubah sejak penyakit itu menggerogotinya. Kulit yang dulunya kencang kini telah keriput. Bahkan tak ada lagi daging dibalik kulit itu kecuali tulang-tulang yang mulai tampak keluar. Mamaku sakit parah.
            Mamaku? Dia seorang wanita yang super. Wonderwoman, Catwoman atau woman-woman lainnya tidak sebanding dengannya. Gaya bicaranya yang tegas namun penuh kasih sayang itu yang membuatku selalu saja merindukannya.
            Sejak kecil aku sangat dekat dengannya dibanding papa. Mungkin karena papa yang smama k bekerja sehingga membuat waktuku lebih banyak bersama mama. Tapi tidak masalah. Mereka tetap saja malaikatku. Mamaku tidak hanya mama bagiku. Kadang saat ayah sedang diluar daerah Iapun menjelma menjadi seorang ayah. Dia memegang seluruh kendali dalam rumah.
            Darinya pula aku belajar membaca tulisan-tulisan arab pada buku Iqra. Menyambung-nyambungkannya dalam Al-Quran. Darinya juga aku belajar menjadi anak yang berbakti walaupun awalnya agak pelit. Mungkin aku yang salah menafsirkan sikap tegasnya. Dia selalu melarangku untuk berbagi jawaban semasa sekolah di bangku SD. Tapi karena aku punya banyak teman, aku tidak peduli. Aku tetap membantu mereka walaupun pada akhirnya akupun kena marah. Itu juga karena laporan teman-temanku yang perempuan. mereka itu teman-temanku sewaktu kelas satu hingga kelas lima SD. Di kelas enam aku menemukan teman-temanku yang tepat. merekalah para siswa laki-laki.
            Ok, kembali lagi..
            Aku masih ingat bagaimana awal-awal aku masuk kemasa putih abu-abu. Yang kata banyak orang adalah masa-masa dimana setiap kenangan tidak mudah untuk dilupakan. Dan itu benar. aku membuktikannya. Salah satunya kenangan bersama mamaku.
            SMK NEGERI 1 GORONTALO adalah sekolah pertama yang ditawarkan padaku dan aku segera menjawab iya. masuk ke salah satu sekolah favorit di Kota Gorontalo siapa yang tidak mau? Akupun tidak ingin menyia-nyiakannya.
            Mamaku adalah orang pertama yang aktif mengurusi semua keperluan berkasku. Mulai dari menemaniku mengurus Ijasah di SMP, ambil formulir hingga menemaniku memasukkan berkas di SMK 1 Gorontalo. Semua mamaku. Mama dan Mamaku.
            Aku ingat. Pagi-pagi kami sudah bersiap dengan Bentor untuk pergi menuju sekolah favorit itu yang jaraknya kurang lebih enam atau tujuh kilometer dari rumahku. Siapa yang menemaniku lagi? Yah mamaku.
            Ambil formulir, antri memasukan formulir hingga ikut Tes semuanya ditemani mamaku. Dia begitu Dahsyat. Gurat kelelahan diwajahnya selalu saja tersembunyi dibalik senyum indahnya itu. wajah yang begitu sederhana yang selalu dibalut jilbab. Pantas saja selalu ada sinar kebahagiaan disana.
            Tapi? Niatku untuk masuk ke Sekolah favorit itu terganjal sesuatu. kenyataannya aku tidak lulus ujian tes masuk. saat pengumuman itulah aku merasa sangat bersalah. Apalagi saat pengumuman mama ada dirumah. aku takut memberi kabar kerumah. bagaiamana reaksi mamaku? Aku tidak bisa membayangkannya.
            Semua tidak sesuai dengan yang ada dibayanganku. Mamaku sama sekali tidak marah. suaranya begitu lembut memenangkanku yang mulai basah oleh air mata.
            “Tenanglah. Masih ada harapan. Masih ada pengumuman yang kedua lagi”
            Hatiku menolak. Buat apa pengumuman kedua? Orang-orang selalu menyebutnya dengan kelas penampungan. Kalau aku masuk kelas penampungan, itu sama saja aku tidak berkualitas untuk masuk ke Sekolah sebesar itu. namun aku tetap bertahan. Karena mamaku. Demi mamaku.
            Hari itupun tiba. mamaku ikut untuk mendengarkan pengumuman. Aku kesal, marah dan sedih juga. Namaku tak jua disebutkan. Aku tidak lulus, LAGI. Akupun menyerah. Sudahlah, lebih baik aku masuk kesekolah dimana aku sudah dinyatakan lulus. Salah satu SMU unggulan juga di Kota Gorontalo. Tapi mama bersikeras memasukkanku ke SMK itu. akupun tetap bertahan. Sekali lagi karena mamaku. Demi mamaku.
            Hasilnya? Namaku disebutkan pada pengumuman ketiga. Rasanya tidak seperti pengumuman pertama atau minimal kedua. Tidak ada rasa bangga bisa masuk kesekolah itu. pengumuman ketiga? Kedua saja sudah disebut penampungan apalagi yang ketiga? Tapi.. senyum diwajah mamaku itu yang menyemangatkanku. Memberikan motivasi kepadaku untuk membuktikan bahwa aku memang pantas disekolah itu. entah pengumuman kelulusan pertama, kedua, ketiga atau terserah. Yang penting Mamaku.
-OoOoO-
            Pagi itu aku tidak ikut kesekolah untuk mendengarkan hasil kejuaraan di semester dua kelas satu. Hatiku dag, dig,dug tak tenang. mana mungkin aku tenang menanti kabar kegagalanku mempertahankan prestasiku? Semester awal aku meraih peringkat 5 kelas. Dan sepanjang pengamatanku di semester dua, prestasiku bakalan anjlok.
            Fiuh…
            “Ya sudah kamu tunggu saja dirumah”itulah pesan mamaku.
            Akupun menunggu dengan hati yang gusar dan gelisah. Jarum jam seakan melambat bergerak. siangpun menjelang dan aku makin tak tenang. namun setidaknya aku sudah menyiapkan mental untuk kena semprot lagi. “Pasrah deh!”
            Kudengar bunyi motor berhenti didepan rumah. sayup-sayup suara mamaku terdengar. Oh tuhan! Hatiku makin tak tenang. jika saja jantung ini buatan manusia sudah lepas dari tadi pagi. Dag, Dig, Dug, Dog, Byuar!!
            Mama masuk kedalam rumah. aku menanti dengan harap-harap cemas. Ia mendekat, menyerahkan buku Raportku lalu memelukku. Aku bingung setengah mati. Mama tersenyum. Senyumnya tidak lantas membuatku ikut tersenyum. Senyum itu malah menciptakan sejuta tanya dikepalaku. Apa yang terjadi?
            Dan yang terjadi adalah….aku membuka buku raportku. Oh My God!!! Aku meraih peringkat tiga kelas. Aku tidak bisa berkata-kata. Seseorang seperti aku yang belajarnya musiman saja, dikelas lebih doyan diam bisa meraih peringkat tiga? Rasanya tidak mungkin tapi itulah kenyataannya. Aku menghembuskan nafas lega. Senyum itu akhirnya makin mengembang.
-OoOoO-
            Waktu berlalu. Kelas duapun menyambut. Disini perjuangan tidak mudah. Tapi, dari pengamatanku. Si dua cerewet dalam kelas mulai memasuki masa-masa pubertas. Bisa kusebut nama mereka V dan I. mereka berdua temanku bahkan sudah sahabat. V adalah perempuan sementara I adalah laki-laki. Sebenarnya tidak ada yang berbeda dari mereka berdua dibandingkan sewaktu kelas satu dahulu. Mereka masih tetap cerewet, berdebat berdua saja. dan aku? Aku pendengar setia. Yang kadang angguk-anggukan kepala tak jarang juga geleng-gelengkan kepala. Tapi itu? mereka yang usianya memang lebih tua dariku mulai memasuki masa pubertas.
            Si V mulai kesengsem dengan seorang kakak kelas yang berbeda jurusan. Dia juga jadi rajin baca novel dikelas. padahal sebelumnya tidak pernah. Dan si I? pubertas juga menghampirinya. Inilah kesempatan emas yang tak mungkin dibiarkan begitu saja. Hasilnya? Tepat. Aku menggeser posisi prestasi kami di kelas satu. Jika dikelas satu, peringkat satu ada si V, kedua si I dan ketiga aku. Disemester awal kelas dua, aku meraih peringkat satu, V turun ke dua dan si I turun ketiga.
-OoOoO-
            Tidak berselang sebulan setelah kabar bahagia prestasiku meningkat, mamaku masuk rumah sakit. penyakit ganas itu menyerangnya. Ia harus dirawat kurang lebih dua bulan lamanya dirumah sakit. satu bulan terakhir aku menjadikan rumah sakit sebagai rumah keduaku. Aku belajar, makan, pergi dan pulang sekolah langsung kerumah sakit. dan kabar buruknya. Dua jari dikaki mamaku harus diamputasi.
            “Oh tuhan… apa ini? Mengapa selalu saja ada air mata mengiringi sebuah senyuman?” baru saja aku tersenyum melihat mamaku ikut bahagia dengan prestasiku, kini aku harus menangis melihat penyakitnya.
            “engkau benar-benar hebat dalam mengatur keadilan”
            Saat mama dirumah sakit itu aku memberikan kabar bahagia untuknya. Aku dipilih menjadi salah satu wakil sekolahku untuk mengikuti Lomba Cerdas Tangkas Akuntansi Regional Sulawesi. Bangga bercampur haru. Aku bisa mewakili sekolah sebesar SMK 1 Gorontalo di lomba seperti itu. Lomba akuntansi? Mendengar akuntansi saja orang-orang sudah berfikiran sulit, susah, dan sukar. S3. Dan pastinya mamaku pasti bahagia.
            “Rajin sholat. Berdoa, doakan kesembuhan mama.”bisik mama suatu hari disaat itu hanya ada mama dan aku didalam kamar pasien. Aku duduk dikursi sambil membaringkan kepalaku diatas tempat tidur mama. Dan tangannya dengan lembut mengusap kepalaku.
            Sebelum lomba itu tiba mama sudah bisa keluar dari rumah sakit. dan setelah lomba itu selesai apa yang terjadi? Mamaku tambah bahagia. Setidaknya aku bisa menjadi anak yang dibanggakan. Aku dan rekan seteamku meraih peringkat satu. Berkat Mr. Danial dan Mss. Noviana Sari. Mereka rekan satu timku.
            Dan pastinya, semester dua kelas dua aku masih bisa meraih peringkat satu. Mamaku dengan kakinya yang belum sembuh total memaksa diri untuk kesekolah. Untuk mendengar namaku disebut sebagai peringkat satu kelas. BAHAGIA Pastinya.
-OoOoO-
            Walau belum sembuh total, mama mulai beraktifitas sebagaimana biasa. Ia bahkan ikut ambil bagian dalam perayaan tujuhbelasan yang diadakan oleh anak-anak muda di tempat tinggalku. Dengan kakinya yang masih berbalut kain kasa dengan bercak-bercak obat merah Ia ikut bergoyang dalam lomba goyang balon. Mamaku benar-benar tangguh. Kuat dan hebat.
            Tapi tidak berahan lama. Ramadhanpun menyambut. Ramadhan kali ini adalah ramadhan yang paling buruk bagiku. Bagaiamana tidak? mamaku sampai dua kali dirawat dirumah sakit dalam kurun waktu kurang dari satu bulan? Tapi aku harus tegar melihat penyakit mamaku yang semakin parah. Lukanya sudah sembuh tapi penyakitnya yang entah apa itu aku tak tahu. Aku harus kuat. DIa saja yang sedang sakit bisa kuat mengapa aku anaknya tidak bisa?
            Dua kali masuk rumah sakit dalam satu bulan? Setidaknya aku bisa tahu apa penyakit mamaku. Saat kali kedua Ia dirawat dirumah sakit aku mulai bisa menerka apa penyakitnya. Bahkan ia dan pasien lain harus menempati ruangan terpisah dari pasien biasa.
            Tapi ketangguhan dan hasrat ingin sembuh itu tak jua surut dari dalam dirinya. Tiga hari menjelang lebaran dia pulang kerumah berkumpul lagi dengan suasana ramadhan penuh keakraban.
            Idul fitri 1429 Hijirah atau tahun 2008 Masehi adalah idul fitri yang paling tak kuinginkan. Malam takbiran mamaku masih sehat-sehat saja tapi sehari setelah lebaran penyakitnya tambah parah. Dia sudah tidak bisa lagi berjalan sendiri. aku makin sedih melihatnya. Dan disaat seperti itu aku masih sempat bertengkar hebat dengan kakaku hanya karena masalah sepele. Tapi, Mamaku masih punya kekuatan untuk memberikan nasihat-nasihatnya untuk kami.
-OoOoO-
            Waktu berlalu dan tak ada tanda kesembuhan dari mama.
            Hari itu tanggal 22 oktober 2008. Malamnya aku memutuskan untuk tidur bersama mama. Mamaku tidur diatas ranjang dan aku dilantai. Aku memutarkan surat yasin dan ayat suci dari handphone pertama yang dibelikan mamaku. Aku menggengam tangannya walaupun aku sendiri merasakan genggaman itu tak sehangat dulu.
            Seperti biasa,
            Aku pamit untuk pergi kekantor. Saat itu aku masih Prakerin di salah satu perusahaan di Gorontalo.
            23 oktober 2008, malamnya..
            Terjadi pertengkaran hebat diantara kakakku dari istri pertama papah dengan tanteku, adiknya mama. Apa penyebabnya? Entahlah. sebab saat itu aku sedang berada dirumah temanku. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Walaupun sedikitnya aku sudah tahu apa permasalahan mereka.
            24 oktober 2008. Pukul 03.50 wita..
            Aku dibangunkan dengan pelan oleh kakak iparku. Saat itu aku tertidur disofa yang ada diruang tamu. Kamar mamaku penuh dengan sanak saudara yang datang dari jauh. Dengan gontai aku dituntunnya menuju kamar mamaku. Aku tak jua masuk kedalam kamar. kupandangi wajah mereka satu persatu. Air mata, kesedihan tergambar jelas disana. ku melihat kedalam kamar.
            Innalillahi wa’Innailaihi Rodjiun..
            Mamaku telah meninggal. Aku berdiri mematung dengan titik air mata jatuh membasahi pipiku. Aku tidak ingin hanyut dalam kesedihan. Segera kutinggalkan mereka semua. Aku menjauh dan berusaha menenangkan diri seorang saja. Hingga fajar menyapa aku masih terus bergulat dengan batinku.
            “Ini tidak mungkin. aku tidak boleh menangis”
            Aku sebenarnya tidak ingin menangis, namun karena melihat air mata diwajah keluargaku bagaimanapun aku tidak bisa membendungnya. Akupun menangis dipelukan pamanku, adik mama yang berada di Palu. Saat itu ia sedang berada di Gorontalo Utara sehingga tidak perlu menunggu waktu lama untuk tiba dirumahku.
            Saat-saat menggetarkan itu tiba.
            Aku ikut dalam proses memandikan jenazah. Tak sanggup aku melihat sosok yang penuh cinta itu kini tergeletak tak berdaya. matanya terpejam memberikan isyarat bahwa Ia tidak akan pernah terbuka lagi. Air mata memenuhi kelopak mataku. Dan aku berusaha menahannya agar tidak tumpah pada jenazah yang telah suci itu.
            Satu demi satu helai putih tanpa jahitan mulai membungkus tubuhnya. Tubuh yang dulunya padat berisi menjadi tempatku bersandar dengan nyaman kini berubah kermamat dan sangat kurus. Kami tidak kuasa melihat itu semua. Bahkan nenekku hampir saja pingsan dipelukanku saat perlahan tubuh mama menghilang dalam balutan kain kafan itu. aku ingin mati saja.
-OoOoO-
            Aku sholat tak khusyuk. bayang-bayang mamah hadir dikepalaku. Jenazah dalam keranda itu kini sedang disholatkan. Aku berusaha menahan isak tangis. Aku harus bisa. Harus.
            Tiba saatnya jenazah mama harus dimakamkan. Aku berusaha tegar. Mamaku selalu mengajarkan kami untuk tegar. Aku juga pernah melihat kesedihan diwajah mamah saat nenek dan kakek meninggal. Tapi itu hanya sesaat. Namun kini semua berganti. Giliran aku dan kakakku yang harus melihat jenazahnya hilang bersama gundukan tanah.
            Saat semua pelayat pulang, entah apa yang terjadi padaku. Kakiku serasa tak mampu untuk digunakan berdiri. aku roboh dalam posisi bersujud. Bahkan aku tidak merasakan sakit saat kedua lututku menghantam gundukan batu disekitar makam mamaku. Aku menangis sejadi-jadinya.
            Terlintas wajah mamaku yang begitu teduh dan tenang. teriakannya, panggilannya, bagaiamana Ia merawatku saat sakit, saat Ia marah dikala aku berbuat salah, semuaanya masih terekam dengan indah dimemoriku. Aku tak bisa berdiri. beberapa kerabat dan teman membantuku berdiri. aku berusaha menganggkat wajahku, membuka dengan pelan mataku yang sudah basah oleh air mata. apa yang kulihat?
            Hitam, gelap, kosong, blank,  dan….
            Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya merasakan tubuhku seperti melayang menyusul mamaku kealam tiada akhir. Dia tersenyum padaku. Dia tersenyum.
            Saat aku terbangun. Aku sedang berbaring tak berdaya diatas tempat tidur mamaku. Ditempat itu. masih dengan seprei yang sama aku pernah merasakan kehangatan ditempat itu. pelukan kehangatan, kecupan penuh kasih, dekapan sayang dari mama masih jelas terasa. Kumeraba-raba jejak tangan yang ditinggalkan mamaku ditempat itu. aku menangis. Menangis dan menangis. Aku rapuh. Ini kali pertama aku merasakan kehilangan yang begitu dalam..
            Aku bangkit lalu membuka lemari pakaian mamaku. Disana masih bergantung gamis yang selalu ia gunakan. Aku mengambil salah satu. Memeluknya dengan harapan disitu masih tersisa dekapan hangat mamaku. Bau itu masih ada. itu bau tubuh mamaku. Aku memeluk dan menciumnya.
            “Mamah.. aku Rindu” belum beberapa jam aku tak melihatnya aku sudah merasakan kerinduan yang mendalam.
            Aku memandangi wajah mama yang terpasang sebagai wallpaper di ponselku. Aku berdiri didepan pintu kamar mamah. kamar yang penuh dengan kenangan. Kamar yang berisi kisah kasih sayang. Aku benar-benar merindukanmu mama. Kamar itu terasa hampa tanpa sosoknya. Sosok yang begitu tegar dan kuat.  Aku melangkah masuk kedalam kamar. ku kembalikan pakaian yang pernah ia kenakan dulu.
            Kututup kembali lemari mamahku.
Aku berjalan keluar dari kamar,
Selamat jalan duh mama!
Selamat jalan duhai bundaku..
Selamat jalan malaikatku..
Mamah… Aku Rindu padamu!!
“Cintaku hidup selamanya untukmu”

Minggu, 23 September 2012

TAHAJUD CINTA (Bagian 1a)

Hujan baru saja berhenti berderu deras setelah semalaman mengguyur habis kota Manado. Yang tersisa tinggalah rintik hujan yang masih berjatuhan pelan membasahi jalanan ibu kota Sulawesi utara itu. Beberapa genangan air terlihat disudut kota dan pusat-pusat perbelanjaan.
Jalanan masih sepi. Hanya ada dua tiga kenderaan yang lalu lalang dijalan raya. Lampu jalan masih menyala. Membiaskan cahayanya pada rintik hujan yang masih berjatuhan. Nampak juga beberapa orang yang lalu lalang dengan mendekap erat tangan mereka didada. Waktu baru menunjukan pukul setengah enam pagi.
Sebuah mobil X-Over hitam metallic melaju kencang diatas jalan yang basah. Tidak jarang mereka menyambar genangan air. Seorang pemuda berkaos biru duduk tenang menyetir mobil itu. Disampingnya, seorang pemuda dengan usia berkisar dua puluh lima tahun duduk tenang sambil mendekap erat dadanya. Ia mengenakan Jacket Hitam. Pandangannya meluas kejalan raya.
Saat melewati jalan raya depan masjid Ahmad Yani pemuda berjaket itu meminta agar laju mobil diperlambat. Pemuda disampingnya menurut saja. mobil itu melaju pelan melewati Masjid Ahmad Yani. Beberapa orang baru keluar dari Masjid. Sepertinya mereka memang sedang menanti hujan reda untuk pulang kerumah.
Setelah memastikan hujan sudah mulai reda barulah mereka bergegas keluar dari Masjid. Angin pagi bersatu dengan dinginnya hawa hujan membuat mereka menggigil kedinginan. Mereka mempercepat langkah menuju rumah mereka masing-masing. Biasanya setiba dirumah mereka langsung membuat kopi panas untuk menghangatkan tubuh mereka.
X-Over itu kembali melaju tenang dijalanan. Mereka melewati beberapa mobil angkutan umum yang terparkir ditepi jalan. satu dua orang terlihat sibuk membersihkan mobil itu. sementara yang lain, sedang asyik menikmati tidur didalam mobil. Dua orang yang membersihkan mobil, Mereka sepertinya sangat semangat untuk bekerja. Sementara yang masih didalam mobil sambil mendengkur adalah golongan orang malas. Biar saja mobil mereka tidak bersih, toh penumpang tetap akan naik di mobil mereka. itulah pemikiran pendek mereka. mereka tidak berfikir jauh pada para penumpang yang lebih menyukai angkutan umum yang bersih.
Si pengendara X-Over itu tetap fokus pada jalanan dihadapannya. Sesekali ia memperlambat laju mobilnya. Itupun kalau dimintai oleh pemuda disamping kirinya. Mendekati Terminal Manado, X-Over itu melambat. Pemuda itu membanting setir dan masuk kelokasi Terminal.
Ia memarkirkan mobil itu ditempat parkir. Terminal sudah ramai oleh orang-orang yang siap untuk berangkat. Tujuan mereka macam-macam. Itu bisa ditebak dari tujuan BUS besar yang berbaris rapi diterminal. Ada tujuan Kotamobagu, Gorontalo, Palu, Kendari hingga Makassar.
Beberapa orang terlihat bergegas masuk kedalam Bus. Menyembunyikan diri dari terpaan angin dingin yang sangat menggigil. Langit masih gelap padahal waktu sudah menunjukan pukul enam pagi. cahaya matahari pagi belum menampakan wujudnya. Mungkin belum terbit. Atau sudah terbit tapi masih bersembunyi dibalik selimut awan mendung yang tebal.
“Gorontaloooo!!!”teriak seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun.
“Palu,,Paluu,,Paluu!!”seru pria yang lainnya lagi.
Sopir tujuan Makassar pun tidak mau ketingggalan. Ia pun berteriak,
“Makassar, Makassar,, Gorontalo juga Palu bisa.. ayo-ayoo!!!”
Suara mereka bersahut-sahutan menambah suasana ramai di Terminal.
Pemuda berjaket hitam itu turun dari mobil sambil menenteng sebuah ransel besar. Ia melangkah mendekati kumpulan BUS yang terparkir. Ia membaca satu persatu rute BUS yang terparkir pada kaca depan BUS. Seketika langkahnya terhenti didepan sebuah bus hitam biru besar. Dikaca depan Bus tertulis dengan Jelas “Monalisa 06”. Bukan “Monalisa 06” yang membuatnya berhenti melangkah. Namun tulisan yang tertera diatasnya lagi. “Manado – Gorontalo”.
Pemuda itu menyunggingkan bibirnya. Ia menoleh kesekelilingnya. Dimana Sopir bus Monalisa 06 itu? Ia memandang kedalam Bus. Sudah ada beberapa tempat yang terisi. Namun masih banyak bangku yang kosong. Sepertinya Bus itu kekurangan penumpang. Padahal dibandingkan Bus yang lainnya, Bus itu masih lebih bersih.
Seorang pria bertubuh tinggi dan kurus melangkah mendekatinya.
“Mona’o to Hulonthalo?”tanya pria itu.
Pemuda berjaket hitam tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah pria itu. Setelah Ia yakin kalau pria itu adalah Sopir Bus Monalisa 06 barulah ia berkata,
“Tujuan Gorontalo Pak?”
“Jo. Ta’elo.. To di’muka o’ to dibalaka?”
Pemuda itu kembali diam. Ia tidak mengerti dengan maksud dan ucapan sopir bus dihadapannya itu. sementara itu, pemuda yang menyetir mobil X-over hitam metallic itu turun dari mobil. dengan hanya mengenakan celana pendek diatas lutut ia berjalan mendekati seorang penjual. Ia membeli rokok lalu kembali kemobilnya.
Ia bersandar pada Mobil lalu menyalakan Rokoknya. Sesaat kemudian asap berbentuk lingkaran keluar dari mulutnya. Ia memandangi pemuda berjaket hitam dan seorang pria kurus dari jauh.
“Dari tadi saya sudah bilang, Bus ini tujuan Gorontalo. Anda mau naik atau tidak? didepan, bangku tengah atau bangku belakang? Anda tidak mengerti?”tanya sopir itu dengan nada sedikit kesal.
Sudah sepuluh kali ia mengulang terus perkataannya yang sama pada pemuda berjaket hitam itu.
“saya tidak mengerti apa yang anda katakan tadi.”
“Kamu bukan orang Gorontalo?”
“Bukan”
“Mengerti bahasa Gorontalo?”
“Tidak”Pemuda itu kembali menggelengkan kepalanya.
“Pantas saja dari tadi aku bicara sampai berbusa kamu tidak mengerti. Ya sudah, mana bawaanmu? Masukan saja kedalam Bus. Cepat sebelum Bus penuh, ini bus terakhir yang menuju Gorontalo”ucap Pria itu.
Pemuda itu mengangguk dan segera bergegas mendekati mobil yang terparkir beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pemuda berkaos biru itu menghampirinya.
“Bagaimana kak? sudah dapat Busnya?”tanya pemuda itu.
“Iya. ya sudah kakak pergi dulu, jaga mamah sama papah.”
“Ka Evan akan tinggal dimana selama di Gorontalo?”tanya pemuda itu yang ternyata adiknya, Criston.
Evan diam sejenak. Ia memang tidak punya tujuan yang jelas ke Gorontalo. Yang Ia tahu ia pergi ke Gorontalo untuk mencari jati dirinya yang sebenarnya. Ia memiliki dua teman yang tinggal di Gorontalo. Mungkin untuk beberapa saat ia bisa menginap dirumah mereka hingga akhirnya ia menemukan tempat tinggal yang tepat. Tapi, sudah hampir tiga tahun ia tidak bertemu dengan mereka setelah bertemu terakhir di Jakarta saat menyelesaikan pendidikan sarjana mereka bersama.
“Kak Evan!”suara Criston menyadarkannya.
“eeh iya. ada apa?”
“kakak akan tinggal dimana selama di Gorontalo? Berapa lama kakak akan tinggal disana?”
“Entahlah Chris. Kakak tidak tahu pasti berapa lama kakak akan tinggal di Gorontalo. Ya sudah, kakak pergi dulu takutnya Bus itu penuh. Itu Bus Terakhir tujuan Gorontalo”
“Hati-hati Kak!”
“Jaga mamah sama Papah!”Serunya kemudian mendekati Bus Monalisa 06.
Sebelum ia masuk kedalam Bus, ia berbalik kebelakang. Memastikan adiknya telah pulang kerumah. X-Over hitam itu bergegas keluar dari Terminal dan hilang bersamaan dengan berhentinya rintik hujan. Evan segera masuk kedalam Bus. Ia memilih bangku tengah tepat disamping jendela.
Baru dua tahun tinggal di Manado bersama kedua orang tuanya setelah sejak kecil ia tinggal bersama kakeknya di Jakarta, kini ia harus berpisah lagi dengan mereka. Kali ini bukan masalah pendidikan. Ia pergi ke gorontalo dengan tekad mencari jati dirinya yang sebenarnya. Ia masih ingat pesan ibu dan ayahnya semalam,
“Ingat anakku. Semua ini adalah pilihanmu. Dimana keyakinanmu hidup, disanalah kau harus memegang teguh keyakinanmu. Jangan pernah bermain-main dengan keyakinan. Jika kau tidak yakin, segera kembali. Namun jika kau sudah benar-benar yakin, semoga itu adalah kebaikan untukmu”
Ia tidak menyangka bahwa jawaban ibu dan ayahnya seperti itu. keinginannya untuk berpindah keyakinan sama sekali tidak menumbuhkan sekat pembatas diantara dia dan keluarganya. Tidak ada penentangan dari keluarganya. Semuanya mendukung.
Ini adalah keinginannya. Niatnya sejak masih di Jakarta. Ia tidak boleh bermain-main dengan Niatnya. Ia harus melakukan pencarian jati diri yang sebenarnya. Dua puluh lima tahun ia lahir dan besar sebagai pemuda Katolik namun hatinya selalu bergemuruh. Ia sering meragukan tingkat keimanannya. Setiap kali ikut ibadah ia selalu ragu dan bimbang. Dua puluh lima tahun ia hidup dengan bayang-bayang tak jelas seperti itu.
Sebelum tiba Di Gorontalo, ia berniat menghubungi dua temannya itu. Ia mengeluarkan Handphonenya lalu menelepon seseorang. Berkali-kali Ia mencoba menelepon tapi tak ada jawaban. Sedikit putus asa ia menelepon temannya yang satunya lagi dengan harapan kali ini ada jawaban dari balik telepon. Namun, baru sekali saja ia menghubungi nomor itu ia segera menyimpan handphonenya. Nomor itu tidak aktif.
Satu jam berlalu. Cahaya matahari mulai menampakan wujudnya namun Bus Monalisa 06 belum bergerak dari tempatnya. Evan mulai gerah berada lama dalam Bus itu. Ia bangkit lalu keluar dari dalam Bus. Ia mendekati pak Sopir yang tadi.
“Pak, Jam berapa Bus ini berangkat?”tanya Evan.
“Jam Delapan”
“lima belas menit lagi dong Pak? Nunggin apa sih Pak?”
“sudah. kamu masuk saja didalam, duduk tenang.”
Evan kembali masuk kedalam Bus. Tidak lama ia duduk, beberapa penumpang naik kedalam Bus. Mereka berjumlah enam orang. Tiga cowok dan tiga cewek. Mereka duduk dibangku yang masih kosong. Sepertinya bangku itu memang disediakan untuk mereka. salah satu bangku yang masih kosong adalah disamping Evan. Seorang gadis berkacamata hitam melangkah mendekatinya lalu duduk disampingnya.
Gadis itu tidak langsung menyapanya. Evanpun tidak menyapa gadis itu hingga akhirnya Bus Monalisa 06 berangkat meninggalkan Terminal Manado menuju Gorontalo. Gadis yang duduk disamping Evan sibuk bercerita dengan teman-temannya. Evan tidak terganggu dengan keributan mereka berenam. Setidaknya kegaduhan mereka tidak membuat perjalanan panjang Evan membosankan.
Sesekali gadis itu dan teman-temannya melirik kearah Evan sambil tersenyum-senyum. Evan mengetahui hal itu tapi membiarkannya saja. Ia terus memandang keluar jendela.