Minggu, 23 September 2012

TAHAJUD CINTA (Bagian 1a)

Hujan baru saja berhenti berderu deras setelah semalaman mengguyur habis kota Manado. Yang tersisa tinggalah rintik hujan yang masih berjatuhan pelan membasahi jalanan ibu kota Sulawesi utara itu. Beberapa genangan air terlihat disudut kota dan pusat-pusat perbelanjaan.
Jalanan masih sepi. Hanya ada dua tiga kenderaan yang lalu lalang dijalan raya. Lampu jalan masih menyala. Membiaskan cahayanya pada rintik hujan yang masih berjatuhan. Nampak juga beberapa orang yang lalu lalang dengan mendekap erat tangan mereka didada. Waktu baru menunjukan pukul setengah enam pagi.
Sebuah mobil X-Over hitam metallic melaju kencang diatas jalan yang basah. Tidak jarang mereka menyambar genangan air. Seorang pemuda berkaos biru duduk tenang menyetir mobil itu. Disampingnya, seorang pemuda dengan usia berkisar dua puluh lima tahun duduk tenang sambil mendekap erat dadanya. Ia mengenakan Jacket Hitam. Pandangannya meluas kejalan raya.
Saat melewati jalan raya depan masjid Ahmad Yani pemuda berjaket itu meminta agar laju mobil diperlambat. Pemuda disampingnya menurut saja. mobil itu melaju pelan melewati Masjid Ahmad Yani. Beberapa orang baru keluar dari Masjid. Sepertinya mereka memang sedang menanti hujan reda untuk pulang kerumah.
Setelah memastikan hujan sudah mulai reda barulah mereka bergegas keluar dari Masjid. Angin pagi bersatu dengan dinginnya hawa hujan membuat mereka menggigil kedinginan. Mereka mempercepat langkah menuju rumah mereka masing-masing. Biasanya setiba dirumah mereka langsung membuat kopi panas untuk menghangatkan tubuh mereka.
X-Over itu kembali melaju tenang dijalanan. Mereka melewati beberapa mobil angkutan umum yang terparkir ditepi jalan. satu dua orang terlihat sibuk membersihkan mobil itu. sementara yang lain, sedang asyik menikmati tidur didalam mobil. Dua orang yang membersihkan mobil, Mereka sepertinya sangat semangat untuk bekerja. Sementara yang masih didalam mobil sambil mendengkur adalah golongan orang malas. Biar saja mobil mereka tidak bersih, toh penumpang tetap akan naik di mobil mereka. itulah pemikiran pendek mereka. mereka tidak berfikir jauh pada para penumpang yang lebih menyukai angkutan umum yang bersih.
Si pengendara X-Over itu tetap fokus pada jalanan dihadapannya. Sesekali ia memperlambat laju mobilnya. Itupun kalau dimintai oleh pemuda disamping kirinya. Mendekati Terminal Manado, X-Over itu melambat. Pemuda itu membanting setir dan masuk kelokasi Terminal.
Ia memarkirkan mobil itu ditempat parkir. Terminal sudah ramai oleh orang-orang yang siap untuk berangkat. Tujuan mereka macam-macam. Itu bisa ditebak dari tujuan BUS besar yang berbaris rapi diterminal. Ada tujuan Kotamobagu, Gorontalo, Palu, Kendari hingga Makassar.
Beberapa orang terlihat bergegas masuk kedalam Bus. Menyembunyikan diri dari terpaan angin dingin yang sangat menggigil. Langit masih gelap padahal waktu sudah menunjukan pukul enam pagi. cahaya matahari pagi belum menampakan wujudnya. Mungkin belum terbit. Atau sudah terbit tapi masih bersembunyi dibalik selimut awan mendung yang tebal.
“Gorontaloooo!!!”teriak seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun.
“Palu,,Paluu,,Paluu!!”seru pria yang lainnya lagi.
Sopir tujuan Makassar pun tidak mau ketingggalan. Ia pun berteriak,
“Makassar, Makassar,, Gorontalo juga Palu bisa.. ayo-ayoo!!!”
Suara mereka bersahut-sahutan menambah suasana ramai di Terminal.
Pemuda berjaket hitam itu turun dari mobil sambil menenteng sebuah ransel besar. Ia melangkah mendekati kumpulan BUS yang terparkir. Ia membaca satu persatu rute BUS yang terparkir pada kaca depan BUS. Seketika langkahnya terhenti didepan sebuah bus hitam biru besar. Dikaca depan Bus tertulis dengan Jelas “Monalisa 06”. Bukan “Monalisa 06” yang membuatnya berhenti melangkah. Namun tulisan yang tertera diatasnya lagi. “Manado – Gorontalo”.
Pemuda itu menyunggingkan bibirnya. Ia menoleh kesekelilingnya. Dimana Sopir bus Monalisa 06 itu? Ia memandang kedalam Bus. Sudah ada beberapa tempat yang terisi. Namun masih banyak bangku yang kosong. Sepertinya Bus itu kekurangan penumpang. Padahal dibandingkan Bus yang lainnya, Bus itu masih lebih bersih.
Seorang pria bertubuh tinggi dan kurus melangkah mendekatinya.
“Mona’o to Hulonthalo?”tanya pria itu.
Pemuda berjaket hitam tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah pria itu. Setelah Ia yakin kalau pria itu adalah Sopir Bus Monalisa 06 barulah ia berkata,
“Tujuan Gorontalo Pak?”
“Jo. Ta’elo.. To di’muka o’ to dibalaka?”
Pemuda itu kembali diam. Ia tidak mengerti dengan maksud dan ucapan sopir bus dihadapannya itu. sementara itu, pemuda yang menyetir mobil X-over hitam metallic itu turun dari mobil. dengan hanya mengenakan celana pendek diatas lutut ia berjalan mendekati seorang penjual. Ia membeli rokok lalu kembali kemobilnya.
Ia bersandar pada Mobil lalu menyalakan Rokoknya. Sesaat kemudian asap berbentuk lingkaran keluar dari mulutnya. Ia memandangi pemuda berjaket hitam dan seorang pria kurus dari jauh.
“Dari tadi saya sudah bilang, Bus ini tujuan Gorontalo. Anda mau naik atau tidak? didepan, bangku tengah atau bangku belakang? Anda tidak mengerti?”tanya sopir itu dengan nada sedikit kesal.
Sudah sepuluh kali ia mengulang terus perkataannya yang sama pada pemuda berjaket hitam itu.
“saya tidak mengerti apa yang anda katakan tadi.”
“Kamu bukan orang Gorontalo?”
“Bukan”
“Mengerti bahasa Gorontalo?”
“Tidak”Pemuda itu kembali menggelengkan kepalanya.
“Pantas saja dari tadi aku bicara sampai berbusa kamu tidak mengerti. Ya sudah, mana bawaanmu? Masukan saja kedalam Bus. Cepat sebelum Bus penuh, ini bus terakhir yang menuju Gorontalo”ucap Pria itu.
Pemuda itu mengangguk dan segera bergegas mendekati mobil yang terparkir beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pemuda berkaos biru itu menghampirinya.
“Bagaimana kak? sudah dapat Busnya?”tanya pemuda itu.
“Iya. ya sudah kakak pergi dulu, jaga mamah sama papah.”
“Ka Evan akan tinggal dimana selama di Gorontalo?”tanya pemuda itu yang ternyata adiknya, Criston.
Evan diam sejenak. Ia memang tidak punya tujuan yang jelas ke Gorontalo. Yang Ia tahu ia pergi ke Gorontalo untuk mencari jati dirinya yang sebenarnya. Ia memiliki dua teman yang tinggal di Gorontalo. Mungkin untuk beberapa saat ia bisa menginap dirumah mereka hingga akhirnya ia menemukan tempat tinggal yang tepat. Tapi, sudah hampir tiga tahun ia tidak bertemu dengan mereka setelah bertemu terakhir di Jakarta saat menyelesaikan pendidikan sarjana mereka bersama.
“Kak Evan!”suara Criston menyadarkannya.
“eeh iya. ada apa?”
“kakak akan tinggal dimana selama di Gorontalo? Berapa lama kakak akan tinggal disana?”
“Entahlah Chris. Kakak tidak tahu pasti berapa lama kakak akan tinggal di Gorontalo. Ya sudah, kakak pergi dulu takutnya Bus itu penuh. Itu Bus Terakhir tujuan Gorontalo”
“Hati-hati Kak!”
“Jaga mamah sama Papah!”Serunya kemudian mendekati Bus Monalisa 06.
Sebelum ia masuk kedalam Bus, ia berbalik kebelakang. Memastikan adiknya telah pulang kerumah. X-Over hitam itu bergegas keluar dari Terminal dan hilang bersamaan dengan berhentinya rintik hujan. Evan segera masuk kedalam Bus. Ia memilih bangku tengah tepat disamping jendela.
Baru dua tahun tinggal di Manado bersama kedua orang tuanya setelah sejak kecil ia tinggal bersama kakeknya di Jakarta, kini ia harus berpisah lagi dengan mereka. Kali ini bukan masalah pendidikan. Ia pergi ke gorontalo dengan tekad mencari jati dirinya yang sebenarnya. Ia masih ingat pesan ibu dan ayahnya semalam,
“Ingat anakku. Semua ini adalah pilihanmu. Dimana keyakinanmu hidup, disanalah kau harus memegang teguh keyakinanmu. Jangan pernah bermain-main dengan keyakinan. Jika kau tidak yakin, segera kembali. Namun jika kau sudah benar-benar yakin, semoga itu adalah kebaikan untukmu”
Ia tidak menyangka bahwa jawaban ibu dan ayahnya seperti itu. keinginannya untuk berpindah keyakinan sama sekali tidak menumbuhkan sekat pembatas diantara dia dan keluarganya. Tidak ada penentangan dari keluarganya. Semuanya mendukung.
Ini adalah keinginannya. Niatnya sejak masih di Jakarta. Ia tidak boleh bermain-main dengan Niatnya. Ia harus melakukan pencarian jati diri yang sebenarnya. Dua puluh lima tahun ia lahir dan besar sebagai pemuda Katolik namun hatinya selalu bergemuruh. Ia sering meragukan tingkat keimanannya. Setiap kali ikut ibadah ia selalu ragu dan bimbang. Dua puluh lima tahun ia hidup dengan bayang-bayang tak jelas seperti itu.
Sebelum tiba Di Gorontalo, ia berniat menghubungi dua temannya itu. Ia mengeluarkan Handphonenya lalu menelepon seseorang. Berkali-kali Ia mencoba menelepon tapi tak ada jawaban. Sedikit putus asa ia menelepon temannya yang satunya lagi dengan harapan kali ini ada jawaban dari balik telepon. Namun, baru sekali saja ia menghubungi nomor itu ia segera menyimpan handphonenya. Nomor itu tidak aktif.
Satu jam berlalu. Cahaya matahari mulai menampakan wujudnya namun Bus Monalisa 06 belum bergerak dari tempatnya. Evan mulai gerah berada lama dalam Bus itu. Ia bangkit lalu keluar dari dalam Bus. Ia mendekati pak Sopir yang tadi.
“Pak, Jam berapa Bus ini berangkat?”tanya Evan.
“Jam Delapan”
“lima belas menit lagi dong Pak? Nunggin apa sih Pak?”
“sudah. kamu masuk saja didalam, duduk tenang.”
Evan kembali masuk kedalam Bus. Tidak lama ia duduk, beberapa penumpang naik kedalam Bus. Mereka berjumlah enam orang. Tiga cowok dan tiga cewek. Mereka duduk dibangku yang masih kosong. Sepertinya bangku itu memang disediakan untuk mereka. salah satu bangku yang masih kosong adalah disamping Evan. Seorang gadis berkacamata hitam melangkah mendekatinya lalu duduk disampingnya.
Gadis itu tidak langsung menyapanya. Evanpun tidak menyapa gadis itu hingga akhirnya Bus Monalisa 06 berangkat meninggalkan Terminal Manado menuju Gorontalo. Gadis yang duduk disamping Evan sibuk bercerita dengan teman-temannya. Evan tidak terganggu dengan keributan mereka berenam. Setidaknya kegaduhan mereka tidak membuat perjalanan panjang Evan membosankan.
Sesekali gadis itu dan teman-temannya melirik kearah Evan sambil tersenyum-senyum. Evan mengetahui hal itu tapi membiarkannya saja. Ia terus memandang keluar jendela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar